Memudarnya dampak program stimulus Tiongkok, yang untuk sementara mengalihkan modal ke pasar properti dan ekuitas Tiongkok, juga berperan dalam pemulihan harga emas setelah menurun dua hari berturut-turut. Meskipun ada pemulihan ini, kenaikan emas mungkin dibatasi oleh komentar dari Ketua Federal Reserve (Fed) Jerome Powell. Powell menyatakan bahwa pemotongan suku bunga sebesar 50 basis poin (bps) baru-baru ini tidak berarti ada pemotongan serupa di pertemuan-pertemuan selanjutnya. Hasilnya, proyeksi berbasis pasar untuk pemangkasan suku bunga sebesar 50 bps pada November telah turun dari lebih dari 60% minggu lalu ke level mengenah 30%, menurut tool CME FedWatch.
Data ekonomi yang lebih kuat dari proyeksi justru semakin mengurangi kemungkinan pemangkasan suku bunga, yang berdampak negatif pada harga emas. Emas, sebagai aset yang tidak memberikan bunga, cenderung menjadi lebih menarik ketika suku bunga lebih rendah. Sebaliknya, suku bunga yang lebih tinggi membuat emas kurang menarik bagi investor.
Dalam jangka menengah hingga panjang, emas tetap berada dalam tren naik. Analisia teknikal menunjukkan bahwa tren tersebut sepertinya terus berlanjut, dengan menembus level tertinggi sepanjang masa $2.685 yang berpotensi terus naik menuju $2.700 dan $2.750. Meskipun ada kenaikan intraday tipis selama sesi Eropa awal pada hari Selasa, harga emas belum melampaui rekor puncak yang sebelumnya dicapai minggu lalu.
Prospek jangka pendek untuk emas nampaknya menjajikan bagi trader bullish, didorong oleh spekulasi perlambatan berkelanjutan dalam inflasi AS, dimana bisa memicu pemangkasan suku bunga lebih lanjut oleh Fed. Ditambah lagi risiko meningkatnya ketegangan geopolitik di Timur Tengah dan juga harapan mengenai kenaikan permintaan fisik dari kebijakan stimulus Tiongkok bisa jadi akan mendukung harga emas. Oleh karena itu, emas tetap menjadi aset utama bagi investor yang mencari perlindungan yang aman (safe-haven) di tengah ekonomi dan geopolitik yang tidak stabil.